Bali-RMnews.com: Ketidakikut sertaan Kepala Daerah Bali mengikuti retreat yang dilaksanakan Presiden RI Prabowo Subianto, berdampak dan Bali potensial mengidap kekhawatiran kronis akibat carut-marut peristiwa politik atau semacam political distress. Hal tersebut diungkapkan Pande Mangku Rata, pengiat anti korupsi Bali yang tergabung dalam Garda Tipikor Indonesia (GTI), Kamis, (27/2)
“Ketidakikutan kepala daerah dalam retreart telah memancing pro-kontra dan sebagai bagian dari sikap pembangkangan terhadap kebijakan pusat, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto bahkan di lain sisi, ada pihak yang mempertanyakan manfaat retreat bagi kepala daerah ini” katanya.
Menurut Pande Mangku, retreat ini penting, antara lain karena bermanfaat untuk membekali kepala daerah berupa ilmu pengetahuan tentang sistem pengelolaan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Tujuannya, tiada lain agar anggaran yang dikelola benar-benar bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat hingga dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan pemerintah lebih atas serta DPR/DPRD. Anggaran dimaksud baik bersumber dari pusat, pendapan daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah. Tentu juga tujuan lain, yakni untuk menjaga kekompakan para kepala daerah agar tindakannya satu visi dengan pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
‘’Jika mengkaji manfaat dan tujuan inti retreat ini, kami melihat bahwa Presiden Prabowo Subianto sangat serius dan intensif menegaskan kepada kepala daerah agar terjauhkan dari praktik – praktik penyalahgunaan kewenangan yang bisa berujung pada munculnya tindak pidana korupsi,’’ ujar Ketua GTI Kabupaten Gianyar.
Lebih lanjut Pande Mangku mengungkapkan bahwa, dalam sudut pandang anti korupsi dan mengacu manfaat dan tujuan retreat, sangat besar kemungkinan Bali akan menjadi fokus pencegahan dan penindakan pelaku anti korupsi oleh aparatur negara. Karena asumsi yang terbangun selama ini, kepala daerah yang tidak ikut retreat dianggap telah teruji dalam sistem pengelolaan anggaran secara baik dan benar menurut aturan yang ada. Sebaliknya, kebenaran asumsi ini juga pasti akan diuji kembali oleh aparat penegak hukum, terutama bidang tindak pidana korupsi.
“Ujiannya, apakah betul para kepala daerah di Bali telah mengelola anggaran secara baik dan benar hingga terbebas dari unsur-unsur tindak pidana koruspi dan saya sangat yakin hal ini pasti akan didalami oleh para penegak hukum, terutama di Bali,” ujarnya.
Pande Mangku menjelaskan bahwa, kepala daerah yang tidak ikut retret dapat membuahkan sikap pesimisme masyarakat terhadap kepemimpinan ke depan.
“Pesimisme ini terutama terkait upaya daerah untuk mengakses anggaran ke pusat, karena rakyat tahu bahwa presiden, gubernur, bupati dan walikota, adalah jabatan politik, selain sebagai kepala wilayah dan pimpinan administratif tertinggi di daerahnya. Dalam Undang-undang tentang Pemerintah Daerah juga disebutkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Pertanyaaannya sekarang, bagaimana caranya para kepala daerah yang sedang mengalami gangguan konsolidasi politik dengan pusat ini dapat mengonsolidasikan kepentingan daerahnya secara optimal kepada pusat.” Paparnya.
Ada pihak yang menyebutkan bahwa soal anggaran dari Pusat ke Daerah sudah diatur undang-undang sehingga akan pasti cair. Namun, pengalaman empiriknya dalam politik termasuk pengganggaran Daerah dari Pusat, selain dilandasi undang-undang tentu dengan komunikasi intens oleh pejabat Daerah ke Pusat.
“Biasanya, kata yang paling manjur dalam proses peningkatan anggaran daerah dari pusat, yakni lobi-lobi atau perluasan askes. Nanti kita lihat, seperti apa kekuatan lobi orang dari Bali kepada pusat,” ujarnya.
Pande Mangku menilai jika carut-marut politik pascaretreat ini tidak happy ending, maka ke depan Bali akan mengalami gangguan kronis dalam hal arus komunikasi politik. Namun, gangguan ini sangat kecil terjadi pada wilayah yang gubernur dan bupati/walikotanya telah mengikuti retreat dengan baik serta tegak lurus dengan komando pusat.
“Seiring dengan kondisi itu, Bali juga akan mengidap political distress, yakni sebuah kondisi psikologis yang timbul karena kebijakan politik yang tidak tepat atau merugikan rakyat. Belum lagi, gangguan komunikasi itu akan menimbulkan sejumlah pertanyaan, misalnya tentang sejauh mana realisasi hibah bansos yang peruntukannya terlanjur dirancang oleh masyarakat, dan lain-lain.” jelasnya
Menyikapi kondisi kedepan, Pande Mangku mengharapkan agar para aparatur pemerintahan baik di Kabupaten/Kota dan Provinsi di Bali, terutama yang bersentuhan langsung dengan penggunaan anggaran untuk bekerja dengan sikap tenang.
“ketenangan baik untuk jangka pendek dan jangka panjang akan bisa diraih jika pengelolaan anggaran selalu didasari tata aturan yang ada karena dari banyak fakta dalam kasus korupsi tidak sedikit Kepala Daerah terseret lantaran birokratnya takut menolak perintah pimpinan yang melanggar aturan hingga jadilah mereka ikut terpidana, seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Jembrana, Klungkung, Bangli, dan daerah lain,” pungkasnya. (IPS)