Rakyatmerdekanews.com, Jakarta – Manusia pada prinsipnya makhluk pembelajar yaitu makhluk yang mau untuk belajar sesuatu agar memiliki suatu kemampuan pada dirinya sehingga menjadi bekal dan senjata dalam persaingan hidup yang semakin ketat.
Secara alamiah bisa akita lihat seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya ketika ingin mimi air susu dan atau haus dan atau lapar, si bayi menangis, Itu merupakan sebuah observasi bayi bagaimana caranya ia mendapatkan susu, air atau makanan atau asupan lainnya. Merangkat seiring tambahnya usia bayi itu berucap dengan nada dan artikulasi yang belum jelas, itu adalah belajar berbicara belajar berkomunikasi.
Kemudian ketika usia lebih kurang 11-12 bulan merangkak untuk berdiri dan berjalan itu adalah belajar. Oleh karena itu menurut pendapat saya manusia itu pada prinsipnya makhluk pembelajar yang mengkolaborasikan antara akal/pikiran, nafsu, dan hati yang merupakan Anugerah dari Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Oleh karena itu jika kita amati mkhluk yang namanya manusia dari lahir sampai dewasa bahka masa usia senja jika ingin sesuatu berupaya mencari cara atau ilmunya yaitu dengan belajar.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia cara belajar manusia semakin terorganisir secara sistem dari mulai penelompokan dan jenis ilmunya, peruntukan kelompok ilmu tersebut dengan usia manusia, teknologi yang digunakan, keijakan pemerintah, sampai tempat belajar sudah terorganisir dengan baik sehingga mempermudah manusia untuk menimba ilmu, belajar sesuatu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi atau sesuai dengan keinginan, cita-cita dan hobinya. Tempat belajar merupakan objek dari aktivitas belajar manusia yang dibuat dan dikelola sedemikian hingga agar menjadi lebih pintar dan cerdas.
Tempat belajar tersebut ada yang formal, non formal, informal, bahkan atodidak atau belajar sendiri. Tempat belajar tersebut biasa disebut dengan lembaga pendidikan atau lembaga pelatihan baik yang dikelola oleh pemerintah atau kelompok masyarakat (swasta). Lembaga pendidikan atau pelatihan tersebut ada yang umum dan ada yang khusus bahkan ada yang lebih spesifik bidang keilmuannya.
Salah satu lembaga pendidikan yang fokus pada bidang keilmuan tertentu yaitu bidang ilmu agama dan lingkupnya yaitu pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang keberadaannya harus kita akui bersama karena baik secara kuantitas maupun kualitas memberikan kontribusi pada perubahan kehidupan manusia khususnya di Indonesia. Jika kita lihat data dari Kementerian Agama Republik Indonesia (2024) merilis bahwa samapai sekarang terdapat 4,76 juta santri di 34.652 pesantren yang tersebar di seluruh wilayah tanah air Indonesia. Jumlah tersebut, sekitar 44,2% di antaranya memiliki potensi ekonomi, mulai dari potensi pengembangan koperasi UMKM, ekonomi kreatif, ekonomi syariah, agribisnis, peternakan, perkebunan dan ada juga vokasional.
Dengan melimpahnya sumber daya tersebut, maka peran santri sebagai komponen utama dari civitas lingkungan pondok pesantren sangat dibutuhkan dalam rangka untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional terutama setelah krisis ekonomi dan pandemi Covid-19. Keberadaan santri maupun lulusan pondok pesantren secara kuantitas jumlahnya sangat banyak dan ini merupakan sumberdaya yang sangat strategis untuk diarahkan dan diberdayakan ke hal yang produktif untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Kemudian secara kualitas banyak lulusan pondok pesantren yang kiprahnya di masyarakat dalam menggerakan pendidikan, perekonomian, perbankan, pemerintahan, dan sendi kehidupan lainnya. Bahkan jika kita lihat sejarah banyak para pejuang kemerdekaan yang mampu mengusir penjajah dari Tanah Air Indonesia kita tercinta ini. Santri mempunyai jasa sejarah yang amat besar bagi bangsa ini. Kelompok terdidik yang lahir dari rahim pesantren ini mewakili aspirasi dan spirit perjuangan Islam khususnya sejak zaman kolonial. Mereka menjelma sebagai entitas sosial dan politik yang sudah terbentuk jauh sebelum kelahiran kelompok intelektual pribumi pada masa pergerakan nasional.
Transformasi ini perlu dilihat secara objektif agar kita dapat melihat secara nyata peran kalangan santri amatlah penting, tidak hanya dalam peran kepemimpinannya dalam melawan kolonialisme di masa lalu, melainkan juga kiprah pemikirannya bagi bangsa dalam menghadapi persoalan di masa penjajahan, masa kemerdekaan Republik Indonesia, masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang masa perkembangan dunia semakin tidak menentu yang dimotori oleh adanya digitalisasi di berbagai sendi kehidupan. Peran santri harus kita sadari dan kita akui secara objektif memberikan kontribusi positif dalam kehidupan manusia khususnya di Indonesia.
Pemerintah pun menyadari hal itu, terbukti dikeluarkannya satu kebijakan pemerintah dalam hal ini oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta menetapkan Hari Santri Nasional diperingati pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya.
Penetapan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan oleh para ulama. Tanggal 22 Oktober merujuk pada peristiwa bersejarah, yakni seruan jihad kepada umat Islam untuk melawan tentara sekutu yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang dicetuskan oleh KH. Hasjim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Di sisi lain peran santri di lingkungan pondok pesantren memiliki kontribusi besar dalam mengisi kemerdekaan ini melalui ikut andil dalam membangun bangsa terutama dalam menggerakan roda perekonomian di masyarakat.
Jika kita lihat tinjuan yuridis yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pondok pesantren selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah, pondok pesantren juga memiliki fungsi sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan kebijakan dalam undang-undang tersebut sangat strategis untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun sebuah Brand Awareness pondok pesantren. Brand Awareness itu sendiri adalah istilah dalam ilmu Manajemen Pemasaran yang mengacu pada bagaimana memberitahu dan menyadarkan masyarakat (konsumen) atau lebih spesifik dalam hal ini calon santri terhadap merek produk atau riilnya dalam tulisan ini terhadap pondok pesantren itu sendiri.
Pondok pesantren bergerak tidak hanya dibidang keagamaan saja tetapi bagaimana pemberdayaan masyarakat dari sisi ekonomi dan bisnis yang pada akhirnya akan kembali manfaatnya kepada pribadi santri, ke pondok pesantren itu sndiri dan secara lebih luas ke masyarakat Indonesia. Pondok pesantren dapat melakukan akselerasi ekonomi berbasis pesantren dan komunitas di dalamnya, diharapkan ekonomi nasional dapat terdongkrak dengan nyata.
Secara spesifik pemberdayaan masyarakat di pondok pesantren yang dimaksud adalah penguatan kapasitas ekonomi masyarakat khusunya di pondok pesantren dan lingkungannya dengan mencoba menggali potensi diri yang ada di pondok pesantren dan lingkungan masyarakat untuk diberdayakan lebih produktif. Sehingga pesantren mengalami transformasi dari institusi pendidikan keagamaan yang dianggap tradisional dan konservatif, menjadi lembaga sosial multifungsi, produktif, kreatif dan inovatif.
Implementasi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 yang merupakan pijakan awal dalam membangun brand awareness pondok pesantren, lembaga tersebut bergerak dan mengelola tidak hanya lembaga pendidikan keagamaan saja, akan tetapi mulailah bergerak dalam pengelolaan bidang lainnya, seperti dalam bidang ekonomi dan bisnis, dapat dilakukan banyak hal, seperti memberdayakan sumberdaya yang dimiliki pondok pesantren seperti membuat produk air minum kemasan atau air mineral dengan merek pondok pesantren tersebut. Disini akan dibuktikan bahwa pondok pesantren benar sebagai tempat belajar urusan dunia dan akherat.
Selain air kemasan juga banyak produk atau jasa lain yang bisa di buat dan dikelola seperti makanan olahan, karya-karya tulisan kaligrafi santri, buku-buku yang ditulis oleh para guru dan ajengan/kiyai yang memang sebagai pendidik di pondok pesantren. Jasa pemulasaraan jenazah termasuk perangkat peralatan yang dubutuhkan (mobil ambulance, kain kafan, minyak wangi, termasuk samapai petugas yang memulasara jenazah).
Jasa konsultasi keluarga dengan dasar hukum Islam, dan banyak lagi produk atau jasa lain yang dapat dibuat dan dikelola oleh santri disesuaikan dengan permasalahan yang ada di masyarakat, disesuaikan dengan needs, wants, dan expectation masyarakat. Permasalahan di masyarakat atau minimal dilingkungan pondok pesantren, sebenarnya menjadi Rahmat untuk pengelola pondok yaitu akan diciptakan solusinya oleh pengelola pondok berupa produk atau jasa yang dapat dijual ke masyarakat tersebut.
Untuk mempermudah dalam pengelolaan dan memperluas pasar serta pengembangan pondok pesantren, maka dilakukan pengelolaan kerjasama dengan mitra, baik pemerintah, swasta, dunia usaha dan dunia industri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini harus disadari bahwa kita sebagai manusia pasti memiliki kekurangan dan keterbatasan, sehingga kolaborasi menjadi penting dilakukan dengan menjalin kerjasama tersebut.
Harapannya jika pondok pesantren selain mengelola pendidikan keagamaan, juga memilik produk atau jasa yang dapat dijual, minimal untuk pemenuhan kebutuhan di dalam pondok pesantren itu sendiri, maka brand atau citra pondok pesantren di mata masyarakat luas akan terjadi pergeseran (Re-Brand Image).
Pondok pesantren akan dikenal sebagai lembaga atau tempat belajar ilmu dunia dan akherat. Lembaga yang mampu memberikan perubahan terhadap masyarakat yang mau belajar di pondok pesantren tersebut. Jika mau jujur, penulis mengamati bahwa hampir setiap lembaga pendidikan atau lembaga yang berorientasi pada benefit, untuk biaya operasional lembaga tersebut khususnya di pondok pesantren selalu mengandalkan sumber pendapatan dari konsumen yaitu santri.
Jika semua sumber pandapatan pondok pesantren dari santri dijadikan andalan utama pendapatan pondok, sekolah atau lembaga lainnya maka akan terjadi trend penurunan peminat untuk belajar di lembaga tersebut karena pengelola pondok harus menyadari bahwa kemampuan daya beli rata-rata masyarakat kita masih rendah.
Kemudian selanjutnya di internal pondok nyaris untuk kebutuhan operasional akan ada trend kenaikan biaya mondok, atau biaya belajar di lembaga tersebut seiring dengan naiknya tingkat kebutuhan dipondok dan naiknya harga barang atau jasa untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.
Jika sumber pendapatan pondok semuanya bersumber dari santri sedangkan biaya operasional tinggi, maka otomatis penetapan biaya mondok yang harus dibayar oleh santri jadi tinggi diluar kemampuan daya beli masyarakat. Oleh karena itu solusinya adalah setiap lembaga pendidikan atau lainnya yang benefit oriented khususnya di pondok pesantren harus memiliki “ Mesin Uang”.
Mesin uang yang dimaksud penulis adalah bukan mesin untuk mncetak uang (printer dan sejenisnya), akan tetapi pondok pesantren harus memiliki unit-unit usaha untuk menghasilkan laba, dan laba tersebut akan digunakan untuk membantu membiayai operasional pondok pesantren. Bahkan jika unit usahanya berkembang bagus Insya Allah akan memberikan beasiswa kepada santri yang berprestasi.
Akhirnya biaya untuk mondok di pesantren menjadi ringan, dan masyarakat akan terbantu bisa menikmati belajar di pondok pesantren. Apalagi di dalamnya ada asyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan atau kurang mampu secara akademik (intelektual) benar-benar akan terbantu bisa belajar di pondok pesantren, inilah yang disebut dengan keberkahan.
Kita akui memang ini tidak mudah seperti membalikan telapak tangan, butuh proses, butuh kerjasama yang baik, butuh pemikiran atau visi dan misi yang sama di antara para pengelola pondok pesantren. Butuh para pengelola yang fokus, handal, dan amanah, memeiliki cita-cita bersama ingin membuat perubahan di masyarakat luas baik perubahan di dunia maupun perubahan kelak di akhirat. Di sini harus diciptakan buadaya yang mendukung pada cita-cita tersebut.
Penulis yakin dan optimis di Indonesia sangat banyak insan-insan yang ingin melakukan perubahan dengan tulus dan bijak. Kita lihat pelan tapi pasti perubahan di masyarakat sudah mulai terlihat berkat peran para santri dan stakeholder pondok pesantren lainnya, apalgi sekarang sudah didukung oleh pemerintah untuk menggerakan pesantren di Indonesia.
Melalui tulisan yang singkat ini mari kita bangun Brand Image pondok pesantren melalui kiprah para santri untuk diajari dalam praktek langsung di lapangan dengan ilmu-ilmu selain ilmu kagamaan. Sehingga ketika sudah tamat belajarnya atau lulus dari pondok pesantren tersebut memiliki skill atau kemampuan yang handal, riil dan bisa diterapkan baik nanti sebagai seorang ulama yang memiliki kemampuan ilmu ukhrowi maupun ilmu kemandirian secara ekonomi, dan atau menjadi pengusaha yang religius, dan atau menjadi pegawai yang bekerja di institusi pemerintah maupun swasta yang memilik basis kemampuan entrepreneur yang religius. Aamiin ya Robbal’alamiin.
(GSA-Udin Ahidin)