Rakyatmerdekanews.Com, Cibinong — Jika terjadi suatu tindak pidana dimaafkan, diselesaikan secara kekeluargaan, berdamai, bukan berarti dapat menghapus unsur pidana yang telah dilakukan. Upaya itu merupakan suatu pilihan penyelesaian persoalan, namun tuntutan hukum tetap harus dijalankan bagi pelakunya.
Demikian ditegaskan pakar hukum pidana yang juga dosen pada Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Chairul Huda, SH, MH, pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan penggelapan dan penipuan yang dilakukan sejumlah oknum sehingga perusahaan dirugikan sebesar Rp. 8,5 miliar, Rabu (8/5/2024).
Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Cibinong mendakwa Leonal Tirta telah melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan uang perusahaan (PT IS) senilai Rp 8,5 miliar. Sanksi hukuman atas kejahatan ini adalah empat tahun penjara.
“Penyelesaian pidana dengan cara kekeluargaan, dan pengembalian hasil tindak pidana kepada korban, pada intinya hanya mengurangi sanksi tuntutan hukuman pelaku tindak pidana. Faktor yang meringankan. Lantas, kenapa tidak menghapus perbuatan pidana, karena tindak pidana yang terjadi sudah sempurna,” urai Chairul Huda dihadapan Majelis Hakim pimpinan Nugroho Prasetyo Hendro, SH, MH.
Menjawab pertanyaan hakim terkait polisi dan jaksa penuntut umum (JPU) hanya menghadirkan pelaku tunggal dalam kasus penggelapan dan penipuan (PT IS), sementara yang terlibat patut diduga lebih dari satu. Pakar pidana ini menjelaskan, pada kasus tersebut dapat ditinjau dari dua sisi.
“Yang pertama, aspek hukum materil. Yakni, siapa yang dianggap pelaku, dan siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan pidana tersebut. Jika menurut polisi dan jaksa, bahwa yang melakukan hanya satu orang, maka dialah pelakunya,” ungkap Chairul Huda.
Jika pelaku itu, lanjut dia, adalah aktor intelektual yang juga sebagai pelaku, maka yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya masalah hukum. Dalam konteks ini, dosen pidana UMJ mencotoh kasus Irjen Polisi Ferdy Sambo pada kasus pembunuhan ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, selain sebagai aktor intelektual juga pelaku pembunuhan.
Menurutnya, sekecil apapun jika ada pihak lain menikmati hasil kejahatan tersebut, maka polisi dan jaksa juga harus menhadirkan ke pengadilan. Bukan hanya si pelaku utama saja.
“Kemudian dari sisi hukum formil, berpegangan pada hak polisi atau jaksa, siapa saja yang akan dijadikan tersangka, atau tedakwa, makan akan dituntut, dan diadili. Apakah satu orang atau lebih. Ini merupakan suatu pertimbangan, jika yang menikmati hasil kejahatan hanya satu orang, ya, orang itu yang pantas dituntut,” papar Chairul Huda.
Artinya, hukum formil, merupakan otonom dari JPU, yakni siapa saja yang pantas dituntut dalam suatu tindak pidana. Apakah satu orang atau lebih.
Lebih jauh pakar pidana ini mengatakan, sebaliknya sangat tidak adil jika ada beberapa pihak yang juga menikmati hasil kejahatan, sementara yang dituntut hanya satu orang. Mereka yang terlibat harus juga dijadikan tersangka, terdakwa dan dikenakan sanksi pidana.
“Dalam hal ini tentunya polisi dan JPU mengetahui siapa-siapa saja menikmati hasil kejahatan. Apabila satu orang, ya dialah yang mesti bertanggung jawab. Dalam konteks pertanyaan majelis hakim, tentang kenapa hanya satu pelaku yang dituntut, dapat dipastikan terkait klaim yang diajukan tersebut, yang menikmati hanya satu orang. Meski yang lain mengertahui, tapi tidak menikmati, polisi dan JPU tidak bisa melibatkannya,” urai Chairul Huda.
Pada bagian lain, menjawab pertanyaan JPU terkait adanya upaya pengembalian atas hasil perbuatan pidana, apakah dapat dikategorikan perdata, pakar hukum ini menegaskan, bahwa penyelesaian tersebut adalah persoalan lain.
“Perbuatan pidana lebih dulu, kemudian ada upaya pengembalian yang diistilahkan sebagi utang piutang, adalah persoalan lain. Dan penuntutan pidana tidak menyampingkan keperdataan. Penyelesaian secara perdata boleh-boleh saja, itu adalah hak setiap orang. Tapi, sekali lagi saya katakana, bahwa penyelesaian itu tidak menghapus perbuatan pidana,” ungkapnya seraya menambahkan, tentang keperdataan bukan ranahnya.
Chairul Huda juga menegaskan, seorang direksi perusahaan dapat dijerat Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) jika diketahui melakukan penggelapan dan penipuan dalam perusahaan sehingga merugikan keuangan.
“Seorang direksi harus mengelola perseroan dengan etikat baik, dan jujur. Tapi nyatanya tak jujur, klaim penagihan yang diajukan ternyata tidak benar, berbohong, ya berarti dia melanggar ketentuan UU PT, perbuatan melawan hukum. Secara konkrit dapat dilihat perbuatannya, unsur melawan hukum, apakah penggelapan atau penipuan, atau bisa saja kedua-duanya” urainya.
Sebelumnya pakar hukum pidana ini menerangkan, pengertian umum tipu muslihat adalah untuk memperdaya orang lain tanpa kata-kata, berbohong tanpa kata-kata. Namun pada sisi lain, pelakunya menyampaikan dokumen, surat, kwitansi, atau bentuk transaksi lain dengan memberi keyakinan sehingga orang lain terpedaya dan percaya, padahal seluruh dokumen itu fiktif.
“Penyalah gunaan keadaan, penyalah gunaan pengaruh sehingga orang lain mau tidak mau menuruti kehendak si pelaku, inilah pengetian dari kategori tipu muslihat,” katanya, (Fahri)