Jakarta, Rakyatmerdekanews.com . – Puluhan massa ahli waris Moara Cs geruduk kantor Kementerian Keuangan soal ganti rugi lahan seluas 132 Hektare.
Kuasa Hukum Ahli Waris RM Wahyoe A . Setiadi mengatakan kepada awak media bahwa Sesuai dengan bunyi konstitusi, Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum maka segala sesuatunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus diatur oleh hukum tidak boleh semau maunya. Namun fenomena Indonesia sebagai negara hukum itu faktanya hanya indah di ketentuan normatif saja, impelentasinya seringkali menyesakkan dada.
Salah satu kasus dimana hukum tidak lagi menjadi panglima terjadi di sektor agraria menyangkut persoalan tanah yang sering terjadi sengketa. Banyak warga yang awalnya patuh pada hukum dengan membawa persoalan sengketa tanah mereka ke depan hukum dengan harapan akan mendapat keadilan dalam penyelesaian kasusnya tapi nyatanya berakhir dengan duka lara. Keadilan yang mereka harapkan hanya sebuah harapan hampa karena tidak mewujud dalam dunia nyata. Kadang kadang kasusnya bisa menang di proses Pengadilan tetapi tidak bisa di eksekusi sebagaimana mestinya.
Dikatakan Wahjoe Kasus tanah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) tapi tidak di eksekusi sebagaimana mestinya ?. Pengertian incraht sendiri bagaimana ?. Bagaimana seharusnya keputusan yang sudah inkraht dijalankan ? Apa sanksi bagi pejabat negara yang tidak menjalankan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ?
Banyak kasus tanah di nusantara kita ini yang tidak selesai meskipun peristiwanya sudah berlangsung lama. Pada umumnya kasus kasus tanah yang seperti ini terkait dengan sengketa antara rakyat dengan mereka yang punya kuasa. Dalam hal ini bisa saja rakyat telah memenangi perkaranya lewat proses pengadilan yang di ikutinya. Tetapi ternyata eksekusinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkannya. Kasusnya mangkrak terkatung katung karena tidak ada itikad baik dari pihak yang berwenang yang seharusnya menyelesaikannya. Fenomena ini hampir tersebar dibanyak tempat tetapi tidak semua berhasil direkam oleh media.
Ditambahkannya Salah satu kasus tanah yang “belum selesai” karena eksekusinya terhambat adalah masalah tanah yang terjadi di kawasan Karet, Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan provinsi DKI Jakarta. Tanah dikawasan itu awalnya milik masyarakat berdasarkan bukti kepemilikan eigedom verponding 7267 atas nama ahli waris Moara cs seluas 132 hektare.
Lahan itu kemudian menjadi tanah negara, setelah masyarakat diberikan ganti rugi berupa tanah hak milik seluas 16 hektar di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Namun ternya tanah pengganti itu tidak diberikan kepada masyarakat.
Tanah pengganti belum didapat tetapi pada pada 2001 diatas tanah itu mulai dibangun berbagai gedung milik pemerintah dan swasta, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koperasi Usaha Kecil Menengah, Kedubes Malaysia, Kedubes Rusia dan kawasan bisnis lainnya. Pada akhirnya Masyarakat mengajukan gugatan atas masalah ini sebagai upaya mencari keadilan.
Atas adanya gugatan itu akhirnya Pengadilan telah memenangkan kasusnya dengan perkara Nomor 64 PK/Pdt/2007 jo. Nomor 611 K/Pdt/2004 jo. Nomor 245/Pdt/2003/PT.DKI jo Nomor 523/Pdt.G/2001 terkait dengan ganti rugi tanah Maora, Eigendon Verponding Nomor 7267 di Karet Kuningan, Jakarta Selatan.
Sejak Juli 2008 perkara ini sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap karena tidak ada upaya hukum lain diawali dengan adanya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 53/PDT.G/2001.Jaksel, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 245/PDT/2003/.PT.DKI , Putusan Kasasi No 611K /PDT/2005, Putusan peninjauan Kembali No 64 PK/PDT/2007. Selain sudah inkracht , ada tujuh Aamaning dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 26 April 2006, 10 Mei 2006, 7 Juni 2006, 12 November 2008, 10 Desember 2008, 17 Desember 2008, dan 7 Maret 2012. Artinya dalam perkara ini, ahli waris sudah memenangkan sejumlah tahapan. Mulai dari pengadilan negeri sampai ke peninjauan kembali.
Sebenarnya pihak BPN telah menyatakan akan melaksanakan eksekusi dengan melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan. Namun, sampai sekarang tidak melaksanakan putusan tersebut. Pada hal perintah pembayaran ganti rugi tersebut sudah jelas tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kepala BPN No. 188-VI-1990 atas Eigendom Verponding 7267 seluas 132 hektar yang telah mendapatkan putusan pengadilan dan inkrah.
Tidak kunjung dilaksanakannya eksekusi itu telah membuat prihatin Ombudsman RI.”Kami sudah menerima surat dari kuasa hukum ahli waris, perihal masalah tersebut pada 19 Februari 2018 lalu. Sudah di sidang plenokan dan dibentuk tim. Kami akan pelajari lebih dulu,” jelas Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih saat dihubungi, Senin (26/2/2018). Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya sudah membayar ganti rugi tersebut. Kasihan para ahli waris yang jumlanya mencapai 800 orang sudah menunggu 38 tahun.
Kuasa hukum ahli waris, RM Wahjoe A. Setiadi menjelaskan, pihaknya sudah tiga kali mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Isinya meminta agar pembayaran ganti rugi segera dilaksanakan.”Masalah ini sudah terlalu lama dan seharusnya menjadi perhatian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo,” sambungnya.Wahjoe berharap, Pemerintahan Joko Widodo berkomitmen dalam penegakan hukum dan merealisasi atas program Nawacitanya. Sebab, masalah lahan Kantor Kemenkum HAM, Kemenkop UKM dan sejumlah Kedubes tersebut bukan sengketa lagi melainkan tinggal eksekusi ganti rugi saja.
Selain itu, sesuai dengan hukum acara perdata, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah bisa langsung membayar atau melaksanakan eksekusi melalui BPN, yang kemudian diteruskan kepada para ahli waris melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.”Sesuai Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Hukum No. 80/PMK.01/2015 tertanggal 15 April 2015, sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi terkait pencairan ganti rugi,” ujar Wahjoe. (LW,)